Senin, 24 Mei 2010

Mulai Menulis


Kumulai tulisan ini, seperti biasanya tanpa memikirkan ending. Aku juga tidak tau mengapa setiap memulai menulis, aku tidak ingin memikirkan endingnya seperti apa, atau mungkin aku takut di tengah perjalanan tulisanku menemukan ending yang lain. Atau juga aku yang tidak ingin memfokuskan pikiranku pada ending yang sudah aku tetapkan, hingga akhirnya semua cerita mengarah kesana dan tidak menemukan warna dalam coretan coretan acakku, mungkin juga aku yang memang tak punya kemampuan menulis, tapi selalu saja ingin menulis. Jadilah tulisanku acak tanpa alur yang jelas, berjalan sesukanya tanpa keterikatan tema dan alur. Ah..biar saja..apa peduliku. Bukankah aku sedang tidak ikut perlombaan menulis yang mengharuskanku mengikuti syarat-syarat yang telah ditetapkan panitia. Yang membatasi tema, halaman dan dan waktu penulisan. Aku bisa menulis kapan saja, dimana saja dan tentang apa saja yang kusuka.

Hari ini aku memulai tulisanku tentang “ Kau, Aku dan Dia” dan pada bab ini kutuliskan tentang “Kau”, mungkin di Bab lain “Aku” akan menulis tentang “Dia”.
Aku mengenalmu pada musim kering yang panjang, ketika daun daun telah mengering. Ketika tunas seolah enggan keluar dari kelopak daun. Musim kering yang sangat panjang, yang melupakan ku pernah ada musim hujan, yang memasung mimpiku tak akan ada lagi musim hujan. Aku hanya melihat rumput yang menguning, daun daun yang kering dan aku berjalan diantara angin musim kering.

Sepanjang hari yang kulewati, tak kurasakan sejuknya embun, juga dinginnya kabut yang membungkus pagi diantara gerimis sisa hujan semalam. Aku hanya membatin. Apa bedanya dengan kemarin?.Juga tak kulihat indahnya matahari menyeruak kabut, dengan spektrum cahaya yang jatuh di daun. Aku hanya melihat, sebentar lagi daun itu juga akan kering, manakala matahari semakin tinggi dan menguapkan embun. Dan bagiku tetaplah musim kering.

Hari kemarin kuputuskan berhenti mengejar mimpi, kupatahkan harapan menapak pendakian. Aku ingin turun dan melewati jalan datar yang tidak bergelombang. Ketiga pucuk pucuk keinginan ingin meraih bintang, kukatakan pada hati, “kita sedang berhenti di atas sajadah panjang. Lupakan tentang bintang. Kita terlalu lama lena dalam warna keruh dunia, mengejar ambisi yang menyeret kita pada jalan berkerikil tajam. Luka luka menujam dari wajah wajah semu penuh kemunafikan, mengatasnamakan cinta untuk sebuah tujuan. Keuntungan. Dan engkau hatiku, terlalu naif untuk semua ini, yang tak pernah melihat hitam dibalik putih”.

Hari kemarin kuputuskan, hari-hari hanyalah kemarau, tanpa mimpi, jalani saja dari mulai kita terbangun sampai tertidur lagi, sambil sesekali memandang langit, dan berkata “Tuhan, aku masih disini. Engkau pasti tau kenapa aku ingin berhenti”.

Kemudian, aku mengenalmu di gelap malam, tanpa sentuhan, tanpa tatapan. Tapi rasaku engkau sedang berdiri disampingku. Merengkuh bahuku, menggenggam jemariku. Membimbingku berjalan. “Dik, jalanmu masih panjang”. Tiba-tiba saja hari bergulir dalam untaian puisi, menghalau musim kering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar