Jumat, 20 Agustus 2010

Hidup IV

Oh rentangkan tanganMu
Bersama datang malam
Agar dapat kurebahkan kepala
Pada bulan di lenganMu

Oh hembuskanlah
Nafas iman ke dalam sukma
Agar dapat kuyakini
Hidup dan kehidupan ini

Di gunung kucari Kamu
Di sini pun kucari Kamu
Di manakah kutemui Kamu
Untuk dalam genggamanMu

Oh bisikkanlah
Kemanakah langkah mesti kubawa
Agar pasti akan bertemu
Untukku tumpahkan rindu

Di lenganMu kutemukan cinta
Di mataMu memancar makna
Rindu ini tak tertahan lagi
Untuk menangis di pangkuanMu

hidup IV
lyric : Ebiet G Ade

Rabu, 18 Agustus 2010

Taubat


KepadaMu ingin kupersembahkan bakti dan sujudku
Sekian lama terselubung dalam langit
namun aku tetap setia ho ho

Mencari Engkau yang memberi kehidupan
dan senantiasa akan menjaga ho ho
Biarlah jiwa kupasrahkan, peluklah
ragaku di dalam dekapanMu

KepadaMu ingin aku tumpahkan segala-galanya
Jalan panjang telah aku lewati
menyusuri kegelapan ho ho

Secercah sinar yang gemintang merasuk,
membuka seluruh kesadaranku ho ho
Di mana aku dapat rebah tenteram
tidur lena dalam pelukanMu?

Mencari Engkau yang memberi kehidupan
dan senantiasa akan menjaga ho ho
Biarlah jiwa kupasrahkan, peluklah
ragaku di dalam dekapanMu

Secercah sinar yang gemintang merasuk,
membuka seluruh kesadaranku
Di mana aku dapat rebah tenteram
tidur lena dalam pelukanMu?


taubat
lirik: Ebiet G Ade

Senin, 16 Agustus 2010

Ziarah Bisu


Nenek..
Apa kabarmu disana,,?
Lama sekali aku tak datang
Barangkali..
Sungging senyummu tinggal belulang
Atau sudah lapukkah dia.?
Bahu rentamu pun
Mungkin telah hancur dimakan rayap.
Yang siang malam menggeroti
Sejak dahulu lagi
Yang bahkan aku tak mampu mengingat utuh
Bagaimana raut wajahmu.
Saat kau pergi
Tapi aku tak pernah lupa
Bagaimana aku bergayut di lenganmu
Atau bersembunyi di pelukmu
Agar lidi kemarahan ibu tidak mendarat di tubuhku
Aku tak pernah lupa
Rengekku “gendong Nek”


Nenek..
Dinginkah disana
Sampaikah kepadamu selimut doaku
Yang hanya sesekali singgah dalam tengadah jariku
Yang datang ketika rindu bergayut
Mengingatmu di sekelebat hari

Nenek..
Segelap apakah disana
Sampaikah kepadamu
Cahaya lilin yang kunyalakan
disepotong ayat yang kulafazkan

Nenek..

Minggu, 15 Agustus 2010

Destinasi


Perjalanan ini begitu jauh,,

Tidaklah mulus yang kulalui

Onak duri mewarnai,

Tetap melangkah dengan pasti

Menyusuri jalanan turun dan mendaki

Jatuh,,

Bangun,,

terjatuh lagi,

bangkit lagi..

menyisir hari-hari yang terus berlari

berlalu pergi meninggalkan waktu

sendiri.



Perjalanan ini begitu jauh..

Tapi tetap harus kutempuhi,

Demi menggapai sinar

Di ujung destinasi...

Cintailah Cinta


Menguji kesungguhan hati
Menggali Kebenaran Nurani
Apakah ada cinta yang sejati
Tak ada yang tahu
kapan Kutau
bila itu memang ada
Dan selamanya tetap ada
Jauh di dasar hati
Terkadang Hati memerih
Dan di bertanya
Haruskah aku menderita karena cinta?
Mengapa aku harus bertanya
Kalau Cinta tak pernah menyakitiku
Cintaku membuat aku bahagia
Karena Engkau Bahagia

Cinta seperti angin … dirasakan ato tidak dia memberikan kehidupan kepada semua mahluk di bumi ini. Seperti angin Cinta tidak pernah senang untuk dirasakan dan tidak kecewa bila diabaikan. Dia ikhlas dan hanya memberi kita kehidupan.
Cinta Seperti Air … setia mengalir melewati semua rintangan dan celah kehidupan. Dia tak pernah mengeluh apa yang datang padanya

Sabtu, 14 Agustus 2010

Kenapa dengan puasa..?

Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di benakku. Memasuki hari keempat di bulan Ramadhan dimana seluruh umat islam melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh. D bulan puasa ini, tidaklah mengherankan tiba-tiba suasana jadi berubah, jalanan lengang. Sebagian kantor-kantor masih ada yang belum buka, mungkin karyawannya pada belum datang karena ketiduran setelah sahur. Memasuki hari keempat ini, suasana puasa semakin terasa. Wajah-wajah yang lesu, ada yang berkomentar mengantuk, lemes. Semangat kerja menurun drastis, hm.. sepertinya bagi sebagian orang, puasa jadi kambing hitam dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Dan di bulan puasa ini juga, sebagian dari orang-orang kehilangan kesempatan untuk mencari rejeki, warung-warung yang biasa buka di siang hari terpaksa tutup untuk menghormati orang yang sedang berpuasa. Dan secara tak langsung bagi orang yang sedang berhalangan melaksanakan puasa, orang-orang yang sedang sakit atau non muslim juga kehilangan haknya untuk menikmati makanannya dengan nyaman di depan umum. Mereka harus sembunyi-sembunyi karena dituntut untuk menghormati orang yang sedang berpuasa. Dan dipikiranku segera bertanya, kenapa dengan orang puasa.? Apakah hanya karena seseorang sedang melaksanakan puasa, orang lain yang tidak berpuasa harus kehilangan haknya? Kenapa dalam hal ini kita hanya memikirkan kenyamanan kita, tapi tidak memikirkan kenyamanan orang lain diluar kita. Kalau kita hendak berpuasa, ya puasa saja. Kenapa orang-orang disekitar kita yang mungkin berhalangan puasa, atau non muslim juga ikut puasa.? Jika selama ini yang berlaku di masyarakat umum “ hormatilah orang yang sedang berpuasa” bagaimana kalau kata itu dibalik menjadi “hormatilah orang yang tidak berpuasa”.. Setidaknya itu pikiranku saja. Bukankah kalau kita ingin dihormati orang lain, terlebih dahulu kita juga harus menghormati orang lain.

Jika kita tidak sanggup menahan godaan dalam berpuasa, kenapa harus menyalahkan hal-hal diluar kita, kenapa kita tidak menyalahkan diri kita sendiri, karena kita tidak sanggup melawan godaan itu. Ah. Begitu egoisnya kita. Hal ini mengingatkanku pada kisah seorang teman. Karena rumitnya permasalahan hidup, dan dera kemiskinan membuat dia pindah agama nasrani. Sontak saja seluruh lingkungannya mencaci dia dan menyalahkan umat nasrani yang membawanya pindah agama. Waktu itu aku tidak berkomentar, tapi dalam hati aku justru berpikir, kenapa umat nasrani itu yang disalahkan, kenapa bukan orang-orang islam disekitarnya yang harus menyesali diri karena membiarkannya melewati kemiskinan sendiri dan akhirnya dia merasa nyaman dalam pelukan agama lain, dimana dia diperhatikan dan dilindungi. Kenapa bukan orang-orang islam yang berada disekitarnya yang memberikan kenyaman itu kepadanya. Mungkin yang dia lakukan itu salah, tapi yang lebih salah adalah orang -orang disekitarnya yang tidak merangkulnya ketika imannya melemah dan mmembiarkan kesalahan itu terjadi di depan mereka. Setelah itu mereka ramai-ramai menyalahkan orang lain yang telah membuat saudaranya berganti akidah. Sama halnya dengan puasa sekarang, hanya karena kita sedang melaksanakan ibadah puasa, orang-orang diluar kita harus kehilangan haknya untuk makan dengan nyaman di depan umum. Kalau kita menghormati mereka yang tidak berpuasa, tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan menghormati kita tanpa diminta.

Jika kita cermati firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Tujuan akhir dari puasa itu adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Sebenarnya bukan tujuan akhir itu yang jadi patokan kita, tapi bagaimana kita melewati proses untuk mencapai taqwa itu sendiri, dan seperti yang diterangkan dalam ayat itu adalah dengan berpuasa. Puasa itu melatih kita untuk menahan diri, mengendalikan hawa nafsu. melatih kita untuk menjadi manusia-manusia kuat terhadap segala godaan. Lalu bagaimana puasa itu bisa melatih kita menjadi manusia kuat bila kita melewatinya tanpa ada godaan.

Bahkan sebagian dari kita malah menjadikan puasa itu untuk telat ke kantor, atau pulang lebih cepat. Bekerja dengan semangat yang menurun, tidak mencapai hasil seperti sebelumnya. Kita menjadikan puasa untuk tetap mendapatkan hak kita di kantor tapi mengurangi kewajiban kita. Kita menjadikan puasa untuk kita sedikit bermalas-malasan dalam mencari rejeki. Padahal kita tau mencari rejeki itu sendiri juga ibadah. Atau kita menhabiskan waktu semalam untuk tadarusan, kemudian siangnya kehilangan energi untuk mencari nafkah.

Kalau kita baca sejarah perjuangan Islam di zaman nabi Muhammad SAW, sebagian besar peperangan melawan kaum kafir justru di bulan Ramadhan, pada saat melaksanakan ibadah puasa. Tentu kita bisa bayangkan betapa beratnya berperang dalam kondisi berpuasa, di tengah kurangnya asupan makanan. Tapi justru disaat itu pula kemenangan itu diraih. Kenapa..? bisa jadi karena semangat mereka melaksanakan puasa itu mengalahkan rasa lapar, segala halangan dan rintangan dalam berpuasa justru menempa mereka jadi manusia-manusia kuat. Lalu bagaimana dengan kita.?

Kita menjadikan puasa sebagai kambing hitam untuk melarang orang-orang yang sedang berhalangan untuk berpuasa, orang yang sedang sakit atau non muslim untuk makan dengan nyaman di depan kita. Padahal itu hanya godaan kecil dalam berpuasa. Meski mungkin sebagian dari mereka punya kesadaran untuk tidak makan di depan kita, tapi sebenarnya bukan itu intinya. Kita selalu berkata hargailah orang yang sedang berpuasa. Kita tidak pernah berpikir sebaliknya, untuk menghargai orang yang tidak berpuasa. Lalu dimana letak istimewanya puasa kita, bagaimana puasa itu bisa menjadikan kita manusia-manusia kuat, manusia yang bisa menahan diri, menahan hawa nafsu. Jika semua penghalang-penghalang itu dijauhkan dari kita. Jika semua rintangan yang menyebabkan batalnya puasa itu dijauhkan agar orang-orang muslim agar bisa melaksanakan ibadah puasa dengan tenang. Lalu dimana letak istimewanya puasa itu jika tidak ada hambatan sama sekali. Bukankah semua godaan yang ada disekitar kita justru akan menambah nilai ibadah kita.

Setidaknya itu pikiranku...

Jumat, 13 Agustus 2010

Pertolongan Allah itu sangat dekat sekali.



Kejadian senja tadi masih jelas melekat di ingatku. ketika aku merasa tidak ada lagi yang bisa kulakukan ditengah kepanikan yang melanda, ketika aku merasa jiwaku seperti hendak keluar dari raga. Di ujung ketakutan aku berpasrah, mungkin juga karena aku sudh kehilangan akal untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan jiwaku dan menanti saja dentuman keras yang akan meremukkan seluruh tulangku.

Senja yang kelam, di sisa hujan yang masih bergerimis.. Hujan yang merejam bumi sejak tadi memaksaku menunda jam pulang kerja. Ketika hujan berganti gerimis aku memutuskan untuk pulang agar tidak sampai berbuka di jalan. Masih ada satengah jam lagi waktuku untuk sampai di rumah. Dengan bergegas aku mengenakan jas hujan dan memacu motorku melaju di jalanan licin. Berbaur dengan kendaraan lain yang mungkin juga sedang berburu pulang. Sebuah truk dengan kecepatan rendah di depanku sedikit mengganggu penglihatanku, karena itu aku segera mengambil jalur kiri untuk menghindar dari truk tersebut. Saat aku menaikkan kecepatan untuk masuk ke jalur kiri diluar dugaan sebuah terrano hitam juga melaju kencang di jalur yang hendak kutuju. aku mengurungkan niat untuk pindah ke jalur kiri dan secara reflek kakiku segera menginjak rem sekencang-kencangnya agar tidak menabrak truk di depanku, dan akibatnya aku merasakan roda belakang motorku meliuk dan berputar seperti hendak menghempaskan aku ke jalanan. Menyadari itu kakiku juga berhenti menginjak rem, sementara jarak antara aku dan truk di depan semakin dekat. Aku kehilangan akal, sekelebat ingatanku, aku merasa semakin melaju menabrak truk di depanku. Aku merasa hilang sesaat, bahkan rem tangan pun tak bisa kutekan. Aku sudah berpikir truk itulah yang akan menghentikan laju motorku, tentu saja dalam keadaan tak berbentuk. Ya Allah..hanya kata itu yang kuingat. Di tengah degup jantungku yang berpacu, tiba-tiba saja aku merasa motorku melambat dan aku berhasil berkelit ke jalur kiri meski sedikit lagi aku akan menyenggol truk itu.



Ketika berhasil menguasai laju motorku, di tengah kencangnya denyut jantungku, aku berteriak kencang,.,ya Rabb. Engkau menyelamatkan jiwaku...dan sepanjang perjalanan pulang, terus kulantunkan syukur, begitu dekatnya Engkau padaku.

Selasa, 10 Agustus 2010

Malam Pertama...... Ramadhanku..............

Telah kuinjak tangga pertama,
bermandikan cahaya keagunganMu.
Belumlah sempurna persembahanku,
dan aku malu terlalu banyak meminta,
meski aku tau Engkau maha Pemberi.

Telah kutenggelamkan diri,
menyelami lautan ampunMu,
belumlah sempurna dzikirku
dan aku malu pada kelemahanku
meski aku tau Engkau maha mengetahui



Ingin kukatakan
Tangga demi tangga yang kudaki
Adalah Perjuanganku,
menuju magfirohMu..
dalam ketidaksempurnaanku
karena Engkaulah kesempurnaan itu...

Senin, 09 Agustus 2010

Kelopak hari


Meluruhlah malam ini, tafakur dalam bisu
Kelopak demi kelopak hari, mengusung gelisah
Galau berebut, berpacu dengan waktu
Aku yang terpuruk, dalam debar tak tentu
Masih lagi kutertatih untuk mengerti
Makna cinta yang kuhadirkan di ujung jari
Sampaikah ke langit..?
Di hamparan sujud, di bilangan doa..

Meluruhlah malam ini, beku yang menggumpal
Lembar demi lembar kesedihan,
Berebutan turun, sebening embun
Percakapanku denganMu bisu
Di bilangan dzikir, di kelu lidahku
Rindu yang mengetuk dinding kalbu
Sampaikah ke langit..?
Di tepian harap, di pintu kasihMu...
Menunggu...

Kelopak –kelopak hari yang kulalui..
Tertatih menujuMu, menggenggam erat iman
Dengan sepenuh keyakinan..
Selalu Engkau besertaku..

Di kelopak-kelopak hariku..

Minggu, 08 Agustus 2010

Laut...


Selalu kurindukan baunya, berdiri tegak di pantainya, memandang batas cakrawala berwarna jingga mengiringi matahari yang pulang ke pangkuan bumi, dan cahaya keemasan laksana cincin bertabur berkilauan di atas air. Dan deburan ombak yang menghempas pantai seperti hendak menyaingi kicauan camar yang beranjak pulang beriringan. Riuh rendah suaranya menyusup ruang-ruang pikirku, seolah mereka tertawa, bercanda dengan alam, yang memberi mereka ruang bebas untuk mengekspresikan diri, sesekali cecamar itu merendah dan menyapu riak keemasan seolah sedang memainkan tarian perpisahan kepada matahari yang hendak undur diri dari gelanggang siang. Dan perlahan malam pun mulai mengembangkan sayapnya, memayungi gelapnya ke seluruh alam. Sementara aku tetap berdiri di tepian pantai, memungut kepingan-kepingan hari tadi untuk kuberikan pada laut yang luas, dengan segala kelapangannya untuk menerima segala apa yang datang padanya. Dengan segala kepasrahan pada Allah pemilik jiwaku. Di hadapan lautNya aku berdiri, meresapi kehadiranNya lewat angin yang membelai seluruh tubuhku yang mulai gigil berpeluk dingin. Di sela deburan ombak kurenungi segala kemahaanNya, dan betapa kecilnya aku dihadapanNya. Bahkan dihadapan lautNya yang hanya dengan sekali hentakan bisa melenyapkanku di pijakan bumi.

Nun jauh disana kelap kelip lampu nelayan mulai meramaikan gelap, dibawah tudung langit bertabur gemintang, dan bulan yang tersipu dibalik mega-mega. Mengiringi para nelayan menebar jala untuk seonggok harapan, esok hari pulang dengan membawa banyak tangkapan. Sejenak aku membayangkan seandainya aku yang berada disana, ditengah laut yang maha luas, suasana hening mencekam, di tengah bahaya yang datang dari segala penjuru, tak ada tempat berlari selain kepasrahan kepada yang Maha Perkasa. Bertemankan ayunan gelombang, bebuih yang bermain di atas riak-riak. Betapa tak berdaya jika tiba-tiba angin kehilangan kelembutannya, marah menampar sisian perahu, menggulungkan ombak, menelankanku ke dasar terdalam. Yang tersisa hanya sekat ketakutan, satu pilihan yang tersisa hanya menyerahkan jiwaku kembali pada pemiliknya.

Dan malam ini seperti kuciumi bau laut, untuk meluapkan kepingan-kepingan hari-hari tadi. Segunung keletihan, pertikaian hari. Bisu dalam ketidakberdayaan, memekik dalam diam. perlawanan yang sia-sia, yang hanya akan berujung pada kekalahan. Mungkin, aku kalah, itu di mata mereka, tapi aku menang pada diriku sendiri, aku menang pada emosiku dan tidak membiarkan amarah menghilangkan akalku. Aku menang pada kesadaranku, tentang siapa aku, dan keputusanku untuk menerima sikap kepengecutan yang diletakkan dipundakku. Bukankah dengan begitu aku adalah manusia hebat, yang mampu tenang memikul kesalahan yang tidak mampu disandang oleh orang lain, dan adalah suatu kewajaran tidak ada orang yang mau dipersalahkan meskipun atas kelalaian diri sendiri, tiap orang akan berusaha mencari pelampiasan, untuk memuaskan diri, melepaskan sesak didada dan meluapkannya pada orang lain. Tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan ataupun pembelaan.

Dan pada bau laut malam ini, aku luapkan isi dadaku. Berhujah bijak pada malam, pada angin. Bukan mencari siapa yang salah yang utama, tapi sikap kita menyelesaikan masalah yang ada itulah yang terutama. Yang terjadi tak akan bisa dirubah, atau dikembalikan pada posisi semula, tapi bagaimana menerima keadaan yang sudah ada dan mencari jalan keluarnya itulah yang utama. Seperti kata bijak yang sering kubaca. “ Orang pintar bukan tak pernah salah, tapi bisa mengatasi kesalahan”. Dan menjadi orang yang dipersalahkan, memang sangat tidak mengenakkan. Hanya jiwa besar dan kebijaksanaan yang menyentak kesadaran, yang membawaku pada ketenangan untuk mengatasi semuanya dengan hati lapang. Tanpa harus meneruskan lagi beban kesalahan ini pada orang lain. Sikap menerima itulah ternyata membuatku menjadi lebih arif, dan bisa berpikir jernih. Seperti laut yang selalu menerima apapun yang dilemparkan padanya dan menenggelamkannya ke dasar terdalam jika itu pantas untuk dia simpan, atau membuangnya di tepian layaknya sampah yang mengering di pantai jika itu tak layak ia telan..

Hm..laut...begitu luasnya engkau, begitu digjaya, kedalamanmu sejuta rahasia, amarahmu tak terkira dan tenangmu adalah sejuta rasa......

Sabtu, 07 Agustus 2010

menunggu hujan


selalu kutunggu..
hujan turun..
barsatu dalam senandung..
tik..tik..tik..
melafaz namaMu
dalam kalbu...