Senin, 31 Mei 2010

Bertemu dan berpisah

kadang kita terlalu senang dengan sebuah perjumpaan
sehingga tak sempat kita berpikir
kelak akan hadir duka kala perjumpaan menjelma... hik..hik

yang terbaik adalah
kita bisa menjadi seorang pendaki dan seorang perenang sekaligus
atas pegunungan yang tinggi dan sungai yang mengalir luas…
ia mampu bertahan dalam setiap kondisi
sulit dan mudah …

kebijaksanaan adalah
mereka yang mampu bersabar dan bertahan
serta tetap kokoh dalam dua kondisi
kokoh dalam bahagia dan kokoh dalam sedih
tak berlebihan dan tak jua kekurangan

karena
ia memahami bahwa ini hanyalah
bagian dari fana-Nya
perjalanan kehidupan di dunia

karena
yang akan kekal ditemui
adalah kehidupan setelah kehidupan
yaitu ketika kita bertemu muka dengan Ar-Rahman
Sang kekasih Sejati …

Kedewasaan adalah
ketika kita mampu menganalisa betapa sedihnya kehilangan
dan menyadari betapa sedih lagi ketika kehilangan itu
menjadikan kita menghilangkan kehadiran-Nya di lubuk kita
karena dengan demikian
kita akan KEHILANGAN DUA SEKALIGUS

ambil saja nafas yang panjang
tambahkan senyuman
dan sebuah komitmen
untuk memulai langkah baru
dan
kau akan terlahir
seperti baru

Kehidupan silih berganti seperti siang malam..pagi sore
tapi semuanya adalah KaruniaNya bila Kita pahami
tiada duka kalau tidak ada kebahagiaan..
Terima kasih kakakku..engkau kebanggaanku selamanya..

Jumat, 28 Mei 2010

aku dan kenanganku

Malam menghempasku pada sepi, pada sudut sudut hampa, tanpa suara, tanpa kata. Hening senyap di setiap detik, setiap hela nafas, laksana angin mengalun dalam semilir menggiringku dalam nelangsa pada garis garis wajahmu.Kokoh dalam tajamnya matamu menembus kisi kisi hatiku. itu kali ketiga kau duduk di hadapanku. Hanya kau dan aku. Ditemani segelas kopi yang kau hirup penuh nikmat, disela deru mobil yang melintas. Malam yang cerah penuh bintang, menemani perbincangan kita tentang sebuah perjalanan manusia, alam dan Tuhan. Kau tulis kertas putihku tentang makna hidup, tentang cita-cita dan mimpi. Seperti hukum resonansi fisika, aku terbawa ke dalam mimpimu, lewat gelombang energi yang kau pancarkan dalam butiran-butiran kalimatmu.

Waktu itu bagiku....Malam jadi terasa sangat pendek, memotong kalimat kita dengan sebuah kata “istiratlah malam ini, besok kita makan siang bersama”. Sepanjang perjalanan pulang, aku berharap jalan bertambah panjang beribu-ribu mil jauhnya. Karena dengan begitu akan semakin panjang waktuku untuk duduk disampingmu sambil memandang kelap kelip cahaya diluar jendela kaca sambil menghitung bintang. Waktu itu segalanya penuh warna bagiku, sepertinya aku baru saja membuka jendela dan menyadari betapa luasnya dunia diluar sana dan menemukan dirimu berdiri di depanku dengan wajah penuh senyum yang seolah kuakhrabi selama bertahun tahun lalu. Begitu dekat bagiku, seperti sosok yang kubangun dalam istana ciptaanku. Istana yang selalu ingin kudatangi ketika lelah dan rapuh memagut hari-hariku. Dimana disana aku menemukan sosok seorang ayah yang akan berkata “Jangan takut, ayah disini”. Atau seorang kakak yang meraih tanganku “Dik, malam akan segera datang, mari kita pulang”. Jauh di lubuk hatiku, tiba-tiba aku merasa takut. Takut pada hatiku jika menjadikanmu kedua sosok itu dan melupakanku aku bahwa engkau juga punya kehidupan yang lebih penting dibanding aku. Aku begitu takut, menjadikanmu berarti sementara mungkin bagimu aku hanya sosok asing yang sekedar singgah di sekelebat waktumu. Hanya sebutir debu yang melintas yang segera terbawa angin. Dan malam itu, perasaan hampa segera menghampiriku, ketika engkau berlalu meninggalkan sebaris kalimat “besok kita bertemu lagi”. Dan malam itu adalah awal malam-malam yang menyiksaku, engkau baru saja berlalu namun rindu sudah menyergapku. Juga gamang segera menyelimutiku. Dan hari-hari merikutnya, aku menemukan wajah lelah diwajahmu, menatapku penuh ragu. Dan aku mulai merasa, betapa sulitnya engkau memasukkan aku ke dalam hidupmu. Ada banyak hal yang harus diseimbangkan. Aku pahami itu. Dan kita tidak harus memaksakan diri untuk itu. Bertemu dan mengenalmu, adalah salah satu anugerah terindah Tuhan untukku. Dan aku patut bersyukur atas itu.

Dan hingga malam ini, aku masih saja suka kembali ke waktu itu. Waktu ketika engkau duduk di hadapanku. Meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Dan aku berharap semua memang akan baik-baik saja. Meski kemudian semua hal terjadi diluar kuasa kita, aku tetap meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja. Dan aku juga akan baik-baik saja. Setidaknya kenanganku tentangmu akan tetap baik-baik saja. Tak satupun terlupa, tidak juga sepatah kata. Semua masih jelas tergambar di mataku tak satupun terlewat, lekat di ingatku seperti aku melihat bintang malam ini, hanya bedanya malam ini aku melihatnya sendiri. Malam merayap dalam bayanganmu, lambat berlalu.

Hmm,.kutuliskan ini di hening malam, bukan untuk mengatakan engkau telah menjarah jam tidurku, tapi karena sekarang bagiku, malam jadi terasa sangat panjang, yang dipenuhi bayangmu bahkan ketika kusapa pagi dalam kejap pertamaku. Juga di potongan-potongan hari yang kulalui. Selalu saja bayanganmu mengusik disetiap sudut kemana mataku menuju. Aku lelah. Itu kuakui. Tapi aku lebih lelah ketika menguras segenap kekuatanku untuk melupakanmu. Akhirnya kuputuskan, membiarkan kenangan itu tetap bersamaku.

Kita tau....Apa yang akan terjadi akan tetap terjadi, meski kita setujui atau tidak, yang sudah ditetapkan terjadi tetap akan terjadi. Begitupun dengan kita. Mungkin semua ini adalah kejadian yang sudah dipersiapkan untuk kita. Bertemu dan berpisah seolah pasangan kasih yang selalu berdampingan. Bertemu hanya jalan menuju perpisahan, tak ada yang kekal. Cepat atau lambat sang waktu berkacak sombong, merebut hari hari-hari kita dengan cara-cara yang kadang tidak kita suka. Tapi begitulah ketetapannya. Begitupun hati, setiap saat bisa berubah, meski tidak bagiku. tetaplah kenangan itu terpatri dalam detik-detik waktu yang kulalui. Dan aku yakin, disana kau juga tidak lupa, aku pernah melintas dalam hari-harimu dengan sedikit kekacauan yang mungkin akan membuatmu tertawa sendiri ketika mengenangnya. Menertawakanku atau menertawakan dirimu sendiri tidaklah penting. Karena terkadang, ketika kita menertawakan orang lain, pada saat yang sama kita juga sedang menertawakan diri kita sendiri.

Dan..pada malam yang terus beranjak senyap, kutitipkan pada bintang. Aku masih disini, mengenangmu, membawa semangatmu bersamaku dan semua tulisan yang kau tulis di atas kertas putihku di hari-hari lalu. Pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku. dan berharap malam ini kau juga sedang melihat bintang..dan melihat disini aku tersenyum mengingatmu..dan berharap di suatu masa, di suatu ketika kita akan kembali seperti semula, sebagaimana awal terciptanya..

Selasa, 25 Mei 2010

Berlindung pada pekat

Dari sela-sela magrib, seperti angin
kau datang menabuh rinduku,,
Seperti hujan gemerintik mengetuk-ngetuk palung hatiku.
Dalam bayangan petir meneriakkan namamu
bersama guruh..

Disela-sela daun, seperti kecut
Aku berlindung pada pekat
Mendekap erat penatku dalam lelah hati
Mendekap mimpiku agar tidak mengudara ke langit
Menggapai semu.

Dari negeri magrib hingga negeri subuh.
Dibalik pekat, berbalut dzikir pualam
Jatuh pada sujud.
Merapuh ragaku melupakanmu..


Pku, 24/5/10

Senin, 24 Mei 2010

Mulai Menulis


Kumulai tulisan ini, seperti biasanya tanpa memikirkan ending. Aku juga tidak tau mengapa setiap memulai menulis, aku tidak ingin memikirkan endingnya seperti apa, atau mungkin aku takut di tengah perjalanan tulisanku menemukan ending yang lain. Atau juga aku yang tidak ingin memfokuskan pikiranku pada ending yang sudah aku tetapkan, hingga akhirnya semua cerita mengarah kesana dan tidak menemukan warna dalam coretan coretan acakku, mungkin juga aku yang memang tak punya kemampuan menulis, tapi selalu saja ingin menulis. Jadilah tulisanku acak tanpa alur yang jelas, berjalan sesukanya tanpa keterikatan tema dan alur. Ah..biar saja..apa peduliku. Bukankah aku sedang tidak ikut perlombaan menulis yang mengharuskanku mengikuti syarat-syarat yang telah ditetapkan panitia. Yang membatasi tema, halaman dan dan waktu penulisan. Aku bisa menulis kapan saja, dimana saja dan tentang apa saja yang kusuka.

Hari ini aku memulai tulisanku tentang “ Kau, Aku dan Dia” dan pada bab ini kutuliskan tentang “Kau”, mungkin di Bab lain “Aku” akan menulis tentang “Dia”.
Aku mengenalmu pada musim kering yang panjang, ketika daun daun telah mengering. Ketika tunas seolah enggan keluar dari kelopak daun. Musim kering yang sangat panjang, yang melupakan ku pernah ada musim hujan, yang memasung mimpiku tak akan ada lagi musim hujan. Aku hanya melihat rumput yang menguning, daun daun yang kering dan aku berjalan diantara angin musim kering.

Sepanjang hari yang kulewati, tak kurasakan sejuknya embun, juga dinginnya kabut yang membungkus pagi diantara gerimis sisa hujan semalam. Aku hanya membatin. Apa bedanya dengan kemarin?.Juga tak kulihat indahnya matahari menyeruak kabut, dengan spektrum cahaya yang jatuh di daun. Aku hanya melihat, sebentar lagi daun itu juga akan kering, manakala matahari semakin tinggi dan menguapkan embun. Dan bagiku tetaplah musim kering.

Hari kemarin kuputuskan berhenti mengejar mimpi, kupatahkan harapan menapak pendakian. Aku ingin turun dan melewati jalan datar yang tidak bergelombang. Ketiga pucuk pucuk keinginan ingin meraih bintang, kukatakan pada hati, “kita sedang berhenti di atas sajadah panjang. Lupakan tentang bintang. Kita terlalu lama lena dalam warna keruh dunia, mengejar ambisi yang menyeret kita pada jalan berkerikil tajam. Luka luka menujam dari wajah wajah semu penuh kemunafikan, mengatasnamakan cinta untuk sebuah tujuan. Keuntungan. Dan engkau hatiku, terlalu naif untuk semua ini, yang tak pernah melihat hitam dibalik putih”.

Hari kemarin kuputuskan, hari-hari hanyalah kemarau, tanpa mimpi, jalani saja dari mulai kita terbangun sampai tertidur lagi, sambil sesekali memandang langit, dan berkata “Tuhan, aku masih disini. Engkau pasti tau kenapa aku ingin berhenti”.

Kemudian, aku mengenalmu di gelap malam, tanpa sentuhan, tanpa tatapan. Tapi rasaku engkau sedang berdiri disampingku. Merengkuh bahuku, menggenggam jemariku. Membimbingku berjalan. “Dik, jalanmu masih panjang”. Tiba-tiba saja hari bergulir dalam untaian puisi, menghalau musim kering.

Jumat, 21 Mei 2010

Yang tak selesai


Aku terdampar pada tanya yang tak terjawab,pada bulir-bulir waktu yang singgah pada hari-hari kita. Menyisir rangkaian kata, untaian kalimat yang kita rangkai hari kemaren. Kucerna satu demi satu, kueja kembali pada pagi dan sore hari, sama seperti ketika kita isi hari-hari dengan kata yang mengalir hangat. Tak ada yang salah sebenarnya, mungkin hanya sedikit kesalahpahaman hingga semua berakhir pada diam.Atau mungkin karena kondisi yang menempatkan kita pada waktu yang membuat kita tidak bisa bicara banyak tentang kita, menyelami ke dasar persoalan, tentang apa yang kau pahami tentangku, dan juga apa yang kupahami tentangmu. Kita terlalu cepat mengambil kesimpulan dan membuat keputusan sendiri-sendiri tentang kau dan tentang aku.

Terkadang kita tidak bisa bijaksana pada saat yang tepat. ketika kebijaksanaan itu sangat dibutuhkan untuk memahami kondisi-kondisi diluar prediksi kita. Seperti yang terjadi pada kita di hari kemaren. Mungkin juga kita terlalu kaget dengan pertemuan, sehingga kita kehabisan kalimat untuk menjelaskan. Tapi setidaknya aku sangat memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di hari kemaren hanyalah bagian dari perjalanan yang memang sudah ditetapkan dari awalnya.

Sekarang...Hari kita berlalu dalam diam, dalam bingkai yang tak selesai bagiku. Mungkin karena terlalu banyak yang ingin kukatakan, banyak yang ingin kujelaskan. tapi semua tetap berakhir pada diam, dalam pemahamanku sendiri. Begitu banyak yang tak ketahui tentangku.

Kamis, 20 Mei 2010

muak

Kenapa dengan hari ini,,,semua membingungkan..apa otakku terlalu lelah mencerna, atau kapasitas sudah penuh untuk bisa memahami situasi ini..aku muak...