Minggu, 08 Agustus 2010

Laut...


Selalu kurindukan baunya, berdiri tegak di pantainya, memandang batas cakrawala berwarna jingga mengiringi matahari yang pulang ke pangkuan bumi, dan cahaya keemasan laksana cincin bertabur berkilauan di atas air. Dan deburan ombak yang menghempas pantai seperti hendak menyaingi kicauan camar yang beranjak pulang beriringan. Riuh rendah suaranya menyusup ruang-ruang pikirku, seolah mereka tertawa, bercanda dengan alam, yang memberi mereka ruang bebas untuk mengekspresikan diri, sesekali cecamar itu merendah dan menyapu riak keemasan seolah sedang memainkan tarian perpisahan kepada matahari yang hendak undur diri dari gelanggang siang. Dan perlahan malam pun mulai mengembangkan sayapnya, memayungi gelapnya ke seluruh alam. Sementara aku tetap berdiri di tepian pantai, memungut kepingan-kepingan hari tadi untuk kuberikan pada laut yang luas, dengan segala kelapangannya untuk menerima segala apa yang datang padanya. Dengan segala kepasrahan pada Allah pemilik jiwaku. Di hadapan lautNya aku berdiri, meresapi kehadiranNya lewat angin yang membelai seluruh tubuhku yang mulai gigil berpeluk dingin. Di sela deburan ombak kurenungi segala kemahaanNya, dan betapa kecilnya aku dihadapanNya. Bahkan dihadapan lautNya yang hanya dengan sekali hentakan bisa melenyapkanku di pijakan bumi.

Nun jauh disana kelap kelip lampu nelayan mulai meramaikan gelap, dibawah tudung langit bertabur gemintang, dan bulan yang tersipu dibalik mega-mega. Mengiringi para nelayan menebar jala untuk seonggok harapan, esok hari pulang dengan membawa banyak tangkapan. Sejenak aku membayangkan seandainya aku yang berada disana, ditengah laut yang maha luas, suasana hening mencekam, di tengah bahaya yang datang dari segala penjuru, tak ada tempat berlari selain kepasrahan kepada yang Maha Perkasa. Bertemankan ayunan gelombang, bebuih yang bermain di atas riak-riak. Betapa tak berdaya jika tiba-tiba angin kehilangan kelembutannya, marah menampar sisian perahu, menggulungkan ombak, menelankanku ke dasar terdalam. Yang tersisa hanya sekat ketakutan, satu pilihan yang tersisa hanya menyerahkan jiwaku kembali pada pemiliknya.

Dan malam ini seperti kuciumi bau laut, untuk meluapkan kepingan-kepingan hari-hari tadi. Segunung keletihan, pertikaian hari. Bisu dalam ketidakberdayaan, memekik dalam diam. perlawanan yang sia-sia, yang hanya akan berujung pada kekalahan. Mungkin, aku kalah, itu di mata mereka, tapi aku menang pada diriku sendiri, aku menang pada emosiku dan tidak membiarkan amarah menghilangkan akalku. Aku menang pada kesadaranku, tentang siapa aku, dan keputusanku untuk menerima sikap kepengecutan yang diletakkan dipundakku. Bukankah dengan begitu aku adalah manusia hebat, yang mampu tenang memikul kesalahan yang tidak mampu disandang oleh orang lain, dan adalah suatu kewajaran tidak ada orang yang mau dipersalahkan meskipun atas kelalaian diri sendiri, tiap orang akan berusaha mencari pelampiasan, untuk memuaskan diri, melepaskan sesak didada dan meluapkannya pada orang lain. Tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan ataupun pembelaan.

Dan pada bau laut malam ini, aku luapkan isi dadaku. Berhujah bijak pada malam, pada angin. Bukan mencari siapa yang salah yang utama, tapi sikap kita menyelesaikan masalah yang ada itulah yang terutama. Yang terjadi tak akan bisa dirubah, atau dikembalikan pada posisi semula, tapi bagaimana menerima keadaan yang sudah ada dan mencari jalan keluarnya itulah yang utama. Seperti kata bijak yang sering kubaca. “ Orang pintar bukan tak pernah salah, tapi bisa mengatasi kesalahan”. Dan menjadi orang yang dipersalahkan, memang sangat tidak mengenakkan. Hanya jiwa besar dan kebijaksanaan yang menyentak kesadaran, yang membawaku pada ketenangan untuk mengatasi semuanya dengan hati lapang. Tanpa harus meneruskan lagi beban kesalahan ini pada orang lain. Sikap menerima itulah ternyata membuatku menjadi lebih arif, dan bisa berpikir jernih. Seperti laut yang selalu menerima apapun yang dilemparkan padanya dan menenggelamkannya ke dasar terdalam jika itu pantas untuk dia simpan, atau membuangnya di tepian layaknya sampah yang mengering di pantai jika itu tak layak ia telan..

Hm..laut...begitu luasnya engkau, begitu digjaya, kedalamanmu sejuta rahasia, amarahmu tak terkira dan tenangmu adalah sejuta rasa......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar